by Albertus Usada, Orcid ID. 0000-0002-1793-0568, Social Science Research Network
(SSRN) by Elsevier, the Netherlands.
Di Indonesia, Hukum Desain Industri sebagai bagian dari Hukum Kekayaan Intelektual diatur menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disingkat UU 31/2000) dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disingkat PP 1/2005).
Makna “Hak Desain Industri” adalah hak ekskusif yang diberikan Negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. Hak eksklusif yang dimiliki Pemegang Hak Desain Industri tersebut berupa hak untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang telat diberi Hak Desain Industri (Pasal 1 angka 5 UU 31/2000).
Sumber: Kanal Youtube Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI
Kebaruan (novelty)
Kata “kebaruan” berdasar kata “baru” yang kemudian ada imbuhan “ke-an” menjadi “kebaruan,” yang dalam Hukum Desain Industri menurut UU 31/2000 dihubungkan dengan kegiatan “pendaftaran”, yaitu kebaruan ditentukan dengan pendaftaran yang pertama kali diajukan, yang pada waktu pendaftaran DI diajukan, tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftaran DI tersebut tidak baru atau telah ada pengungkapan atau publikasi sebelumnya.
Desain Industri (DI) dikategorikan “baru” apabila tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Makna “baru” berarti waktu sebelum pendaftaran tidak pernah ada yang diciptakan “suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan,” yang dimohonkan untuk perlindungan hukumnya sebagai Hak Desain Industri.
Menurut Muhammad Djumhana, tidak ada batasan yang jelas tentang kesan estetis pada suatu produk yang dapat membedakannya dengan produk lain untuk dapat dikategorikan sebagai DI yang “baru”. Menurutnya, meskipun parameter menjadi suatu keharusan dalam industri, kemiripan atau similaritas merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, yaitu terlebih dalam suasana perdagangan bebas dan kekinian bahwa sarana produksi semakin berkembang bukan tidakmungkin terjadinya kemiripan suatu produk (Muhammad Djumhana, 2006: 116).
Terkait dengan perkembangan desain industri dan era perdagangan bebas tersebut, Ranti Fauza Mayana (2004: 3) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya, Desain Industri memegang peranan penting untuk keberhasilan perindustrian dan perdagangan di suatu negara. Desain Industri merupakan sarana untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi yang tinggi dalam suatu industri. Menurutnya, negara industri maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang telah memberikan perhatian khusus pada desain industri.
Makna “baru” dan “kebaruan” (novelty):
Putusan Mahkamah Agung No. 793 K/Pdt.Sus-HKI/2020 tanggal 29 Juli 2020:
Mengenai syarat “baru” atau “kebaruan”, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, menyatakan bahwa Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan pendaftaran, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan yang ada sebelumnya menurut Pasal 2 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Desain Industri adalah telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia sebelum tanggal Penerimaan Pendaftaran;
Bahwa Tanggal Penerimaan pendaftaran Desain Industri Tergugat dengan Nomor Pendaftaran IDD0000035015 adalah tanggal 1 Agustus 2012. Sementara Penggugat dapat membuktikan bahwa berdasarkan bukti bertanda P-4C dan P-5, ternyata cetakan matras (moulding) bak mandi yang digunakan oleh Penggugat maupun Tergugat sama-sama berasal/dibeli dari Taizho Huangyan Hoangnuo Trading Co.Ltd. yang merupakan produk bekas yang telah dibuat di negara Tiongkok pada tanggal 10 Februari 2011 dan sudah digunakan untuk mencetak bak mandi secara massal, sehingga pada tanggal 10 Februari 2011 atau lebih dari setahun sebelum Tanggal Penerimaan pendaftaran Desain Industri Tergugat pada tanggal 1 Agustus 2012, Desain Industri tersebut telah diumumkan atau diungkapkan dan dijual bebas di negara Tiongkok, termasuk kemudian dijual dan dibeli oleh Penggugat dan Tergugat, sehingga produsen dan pedagang bak mandi di Indonesia mayoritas membeli cetakan matras (moulding) bak mandi dari perusahaan Tiongkok, Taizho Huangyan Hoangnuo Trading Co.Ltd., yang tidak lagi mempunyai unsur kebaruan dari aspek Desain Industri, karena itu Desain Industri dengan pemegang hak Tergugat tidak memenuhi unsur kebaruan sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
Bahwa Pasal 25 Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) juga menyatakan pada pokoknya bahwa “Members may provide that design are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features,”. Jadi desain industri harus mempunyai perbedaan fitur/karakteristik yang signifikan dari desain yang ada. Secara kasat mata (visual appearance) desain industri bak mandi Tergugat tidak berbeda dengan desain bak mandi pada umumnya, karena itu sesuai dengan persyaratan “baru” menurut Pasal 25 TRIPs dan syarat special appearance, desain bak mandi Tergugat tidak memenuhi syarat baru, karena itu pendaftaran Desain Industri dengan judul BAK MANDI Nomor Pendaftaran IDD0000035015 Tanggal Penerimaan 1 Agustus 2012 yang sertifikatnya diterbitkan tanggal 29 November 2013 atas nama Adianta Tanudirjo (Tergugat) harus dibatalkan;
MENGADILI:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: LIANG SOESANTO tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 5/Pdt.Sus-HKI/Desain/2019/PN Niaga Sby, tanggal 2 Maret 2020;
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menyatakan batal Pendaftaran Desain Industri dengan judul BAK MANDI, Nomor Pendaftaran IDD0000035015, Tanggal Penerimaan 1 Agustus 2012 yang diterbitkan tanggal 29 November 2013 atas nama Adianta Tanudirjo;
3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya atau pejabat yang ditunjuk untuk menyampaikan salinan putusan tentang Pembatalan Pendaftaran Desain Industri dengan judul BAK MANDI, Nomor Pendaftaran IDD0000035015, Tanggal Penerimaan 1 Agustus 2012 yang diterbitkan tanggal 29 November 2013 atas nama Adianta Tanudirjo kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia guna dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri;
4. Menghukum Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pihak yang berkepentingan dan syarat “kebaruan” (novelty):
Apabila pihak yang berkepentingan menemukan fakta bahwa sesungguhnya suatu desain yang didaftarkan tersebut sebenarnya sudah tidak baru karena sudah ada pengungkapan sebelumnya baik di Indonesia maupun di luar negeri, dapat juga mengajukan fakta-fakta tersebut melalui gugatan Pembatalan ke Pengadilan Niaga.
Putusan Mahkamah Agung No. 824 K/Pdt.Sus-HKI/2016 tanggal 6 Oktober 2016:
“Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti yang mengabulkan gugatan Penggugat dapat dibenarkan, karena berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo, Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup dan tidak bertentangan dengan hukum, dimana ternyata desain industri milik Tergugat tidak memenuhi syarat kebaruan, sehingga pendaftaran desain industri milik Tergugat beritikad tidak baik (bad faith) dan pendaftarannya harus dibatalkan, untuk itu tolak kasasi”;
Putusan Mahkamah Agung No. 53 K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 11 Maret 2015:
“Bahwa sesuai dengan kententuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri maka hak desain industri dapat diberikan kepada seseorang jika desain tersebut memiliki kebaruan, hal mana tidak terbukti adanya dalam perkara a quo;
Bahwa sesuai dengan hasil pemeriksaan di persidangan Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya bahwa produk Nampan telah diproduksi dan diperdagangkan oleh masyarakat Cirebon jauh hari sebelum didaftarkan oleh Tergugat, sehingga desain produk Nampan yang terdaftar atas nama Tergugat tidak memiliki kebaruan, karena itu layak untuk dibatalkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SINDU HANDOYO tersebut harus ditolak.”
Referensi:
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mayana, Ranti Fauza, 2004. Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Muhammad Djumhana, 2006. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Surabaya.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Medan.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Semarang.
0 comments: