Albert Usada,
2020:
Sejak tahun 2011, Mahkamah Agung (MA) telah memberlakukan kebijakan tentang
Pemberlakuan Sistem Kamar pada MA. Kebijakan itu berleku efektif mulai tahun
2012. Ada korelasi kinerja Pengadilan Niaga dan MA dalam mendukung kegiatan
Kemudahan Berusaha (EoDB: Ease of Doing
Business).
Mahkamah Agung (MA) sebagai
pengadilan Negara tertinggi, yang sejak tahun 2011 menerapkan Sistem Kamar melalui Keputusan Ketua MA
Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, yaitu memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan
sistem kamar pada MA. Dalam Sistem Kamar MA tersebut, mengelompokkan hakim
agung ke dalam lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana, kamar agama,
kamar tata usaha negara dan kamar militer. Hakim agung masing-masing kamar pada
dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan
masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata
saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja. Demikian
pula, hakim agung kamar tata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha
negara.
METI,
29 January 2020: Ministry of Economic Trade and Industry of Japan
Sementara itu, Ketua MA M. Hatta
Ali menegaskan bahwa rapat pleno kamar tersebut bertujuan untuk memperkuat
sistem kamar dalam penanganan perkara di MA. Sistem kamar ini memiliki beberapa
tujuan utama, sebagai berikut:
a.
menjaga kesatuan penerapan hukum;
b.
konsistensi putusan MA;
c.
meningkatkan profesionalitas hakim agung; dan
d.
mempercepat proses penyelesaian perkara.
Dalam menyelesaikan sengketa kepailitan sesuai kompetensi
Pengadilan Niaga yang tersebar kinerjanya pada 5 (lima) Pengadilan Negeri yaitu
Medan, Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, dan Makassar.
Bahwa dalam konteks pembangunan
hukum ekonomi di Indonesia, signifikansi penegakan kontrak (enforcing contract) dan penyelesaian
sengketa kepailitan (resolving insolvency)
merupakan dua indikator penilaian peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) dari sepuluh
indikator penilaian yang ditetapkan Bank Dunia (World Bank) terhadap 190 negara - termasuk Indonesia – sebagai
bentuk respon dan partisipasi Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi dalam mendukung kondusifitas kemudahan berusaha di Indonesia sehingga
diminati oleh para investor asing maupun domestik. Kemudian, pembangunan hukum
ekonomi di Indonesia harus dilakukan secara revolusioner untuk menempatkan
sistem hukum ekonomi nasional tidak sekadar rule
of law, tetapi juga sebagai rule of
moral dan rule of justice yaitu
dilakukan pembangunan hukum ekonomi berkelanjutan (sustainable economic law development) sehingga dapat mewujudkan
daya saing bangsa.
Mahkamah Agung dalam penelitian
hukum tahun 2018 yang dilaksanakan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)
Hukum dan Peradilan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Keadilan
(Balitbang Kumdil) diidentifikasi bahwa bangsa Indonesia dalam menghadapi
perubahan dan perkembangan perekonomian global yang disertai hadirnya Indonesia
dalam berbagai hubungan kerjasama internasional memiliki peran dan
tanggungjawab untuk mendorong iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian
hukum, keadilan dan efisiensi dengan tetap memerhatikan kepentingan ekonomi
nasional.
Dalam mendukung pelaksanaan
perekonomian yang kondusif, sarana wujudnya adalah melalui perubahan dan
perbaikan berbagai regulasi dan aturan hukum yang berkenaan dengan dunia bisnis
atau dunia usaha yang bertujuan untuk
meningkatkan peringkat Ease of Doing
Business (EoDB) yang didasarkan pada 10 indikator penilaian. Pemeringkatan
kemudahan berusaha (doing business)
diawali pada tahun 2008 hingga sekarang oleh Bank Dunia (World Bank) terhadap 190 negara, termasuk Indonesia.
Peringkat kemudahan berusaha Indonesia
sejak 2008 berada di posisi peringkat 123, tahun 2009 peringkat 129, tahun 2010
peringkat 122, tahun 2011 naik satu tingkat di peringkat 121, kemudian turun
delapan tingkat di peringkat 129 pada tahun 2012, naik satu tingkat pada tahun
2013 di peringkat 128, lalu tahun 2014 berada di peringkat 120, dan tahun 2015
naik menjadi peringkat 114, tahun 2016 naik di peringkat 106, kemudian tahun
2017 melesat naik di peringkat 91, naik peringkat ke 72 pada tahun 2018, dan tahun
2019 di peringkat 73.
Kini, pada tahun 2020, peringkat
kemudahan berusaha di Indonesia tetap berada pada peringkat ke-73 sebagaimana laporan
Doing Business 2020 yang dirilis oleh
Bank Dunia pada Kamis tanggal 24 Oktober 2019.
Memerhatikan dua indikator
penilaian kemudahan berusaha, yaitu penegakan kontrak (enforcing contracts) dan penyelesaian sengketa kepailitan (resolving insolvency) tersebut berkait
erat dengan peran dan fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya
disingkat Mahkamah Agung atau MA) sebagai pengadilan Negara tertinggi yang
membawahi empat badan peradilan, terutama lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, dan peradilan tata usaha negara. Indikator penyelesaian sengketa
kepailitan (resolving insolvency)
berkaitan erat dengan kompetensi dan kinerja lima Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Mahkamah
Agung pun telah membentuk Kelompok Kerja Kemudahan Berusaha sebagai bagian
Kebijakan Yudisialnya guna merespon dan menyukseskan kemudahan berusaha (Ease of Doing Business, EoDB) sebagai program
pembangunan nasional strategis, khususnya menciptakan iklim usaha investasi
bagi para investor asing dan domestik.
0 comments: