Albert Usada, 2020: Bagaimana makna “Pembeli
Beritikad Baik Berobjek Tanah” Dalam Praktik Peradilan dan Yurisprudensi
Indonesia?
Menurut R. Subekti [1],
bahwa pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang sama sekali tidak
mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik,
sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu
barang darinya dilindungi oleh hukum. Sedangkan, Ridwan Khairandi [2]
merumuskan pembeli beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan
penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang
dijualnya itu. Pengertian lain, menurut Agus
Yudha Hernoko [3] bahwa
pembeli beritikad baik adalah orang yang jujur dan tidak mengetahui cacat yang
melekat pada barang yang dibelinya itu.
Pengertian itikad
baik di lingkup hak kebendaan (hak milik) terhadap benda atau barang bergerak,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 531 KUH Perdata mengatur kedudukan seseorang itu
beritikad baik apabila pihak yang memperoleh hak milik terebut tidak mengetahui
adanya cacat tersembunyi. Dalam suatu perjanjian, melindungi pihak yang
beritikad baik dibutuhkan hukum yang dapat memberikan perlindungan kepastian
hukum, salah satu caranya dapat mengajukan upaya hukum gugatan keperdataan ke pengadilan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam kajian
literatur,[4]
jual beli tanah dalam hukum adat dilakukan dengan syarat riil, terang dan
tunai. Makna “riil” adalah kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan nyata, misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya
perjanjian di hadapan Kepala Desa. Makna “tunai” adalah penyerahan hak oleh
penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu
juga hak kepemilikan sudah beralih. Sedangkan, pengertian “terang” jual beli
tanah tersebut dilakukan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa yang berperan sebagai
pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak atas
tanah (ditambah disaksikan dengan saksi-saksi), sehingga perbuatan jual beli
tanah tersebut diketahui oleh umum.
Selanjutnya, makna “pembeli beritikad baik” sebagaimana
diidentifikasi dalam penelitian Widodo
Dwi Putro et al [5] sebagai
berikut:
1. Pembeli
yang beritikad baik adalah pembeli yang tidak mengetahui dan tidak dapat
dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya cacat cela dalam proses peralihan
hak atas tanah yang dibelinya.
2. Pembeli
dapat dianggap beritikad baik, jika ia telah memeriksa secara seksama fakta
material (data fisik) dan keabsahan peralihan hak (data yuridis) atas tanah
yang dibelinya, sebelum dan pada saat proses peralihan hak atas tanah. Jika
pembeli mengetahui atau dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui cacat cela
dalam proses peralihan hak atas tanah (misalnya ketidakwenangan penjual), namun
ia tetap meneruskan jual beli, pembeli tidak dapat dianggap beritikad baik.
3. Dalam
perkara lelang, putusan-putusan hakim pada dasarnya melindungi pembeli lelang,
kecuali ketika pembeli menyalahgunakan keadaan atau hak atas tanah terkait
ternyata telah dihapuskan.
4. Meskipun
terdapat ketentuan yang membatasi bahwa keberatan atau gugatan atas hak atas
tanah terdaftar hanya dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun, namun
jangka waktu ini pada praktiknya tidak mengikat. Karena, ketentuan daluwarsa
ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempersyaratkan adanya itikad baik
pemegang sertifikat yang harus ditetapkan oleh hakim (lihat poin 2 di atas), di
samping sertifikat harus diterbitkan secara sah dan tanah dikuasai secara nyata
oleh pemegang sertifikat.
Mahkamah Agung RI
melalui Surat Edaran (SEMA), yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2016, pada bagian Perdata
Umum telah merumuskan kriteria pembeli yang beritikad baik dengan maksud untuk memberikan
kepastian hukum bagi pembeli berobjek tanah. Dalam kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata
selanjutnya, sebagaimana dilampirkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut yang
menyempurnakan Kesepakatan Kamar Perdata dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata, adalah sebagai berikut:[6]
a.
Melakukan jual beli atas objek tanah
tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah
ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
-
Pembelian tanah melalui pelelangan umum;
atau
-
Pembelian tanah dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah - PPAT (sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau
-
Pembelian terhadap tanah milik adat/yang
belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:
-
dilakukan secara tunai dan terang (di
hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);
-
didahului dengan penelitian mengenai
status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;
-
Pembelian dilakukan dengan harga yang
layak.
b.
Melakukan kehati-hatian dengan meneliti
hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:
-
Penjual adalah orang yang
berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan
bukti kepemilikannya; atau
-
Tanah/objek yang diperjualbelikan
tersebut tidak dalam status disita; atau
-
Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak
dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau
-
Terhadap tanah yang bersertifikat, telah
memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut
dengan pemegang sertifikat.
Dalam praktik, putusan-putusan Mahkamah Agung sejak
tahun 1950-an yaitu sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) - telah memberikan penafsiran atas pengertian “pembeli beritikad
baik” dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[7].
Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli beritikad baik diartikan sebagai
pembeli yang sekali-kali tidak menduga bahwa orang yang menjual suatu benda
(bukan satu-satunya) orang yang berhak atas benda yang dijualnya.[8]
Demikian pula, kaidah hukum Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli yang tidak
mengetahui adanya cacat hukum (dalam jual beli yang dilakukannya) adalah
pembeli yang beritikad baik.[9]
Sesudah berlakunya UUPA, Mahkamah Agung
masih memaknai “pembeli beritikad baik” sebagai pembeli yang tidak mengetahui
adanya kekeliruan dalam proses jual beli (peralihan hak), seperti telah
dicabutnya surat kuasa penjual oleh pemilik asal tanahnya.[10]
Sebagaimana hasil penelitian Widodo Dwi
Putro et al[11]
bahwa itikad baik juga mulai memperoleh makna lain, yaitu pembeli telah
dianggap beritikad baik, apabila jual beli telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.[12]
Demikian pula, pembeli juga dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik, jika
tanah diperoleh dari kantor lelang negara, berikut surat-surat kepemilikannya.[13]
Situsweb Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 114 K/Pdt/2013[14]
menyebutkan kaidah hukum bahwa pembeli sebagai pemohon kasasi mendalilkan bahwa
dirinya adalah pembeli beritikad baik, karena jual beli dilakukan dihadapan Notaris/PPAT,
namun menurut Mahkamah Agung bahwa karena tanah obyek sengketa adalah harta
gono-gini dan sebelumnya telah ada putusan pengadilan yang membatalkan akta
jual beli berdasarkan hal tersebut, maka permohonan harus ditolak.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1847 K/Pdt/2006[15] menyebutkan bahwa karena
jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, Mahkamah Agung menilai pembeli dalam
hal ini bukan pembeli beritikad baik, karena sudah mengetahui bahwa objek jual
beli sedang dan telah dalam penguasaan pihak lain sejak tahun 1963.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1923 K/Pdt/2013[16] menyebutkan, Mahkamah
Agung dalam perkara ini menilai bahwa pembeli bukan pembeli beritikad baik,
meskipun telah memegang sertifikat hak atas tanah atas namanya sejak tahun 1999
dan 2000, karena pada waktu pembelian dia dianggap tidak mencermati objek tanah
yang ternyata dikuasai oleh orang lain.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861
K/Pdt/2005[17], Mahkamah Agung menganggap bahwa pembeli tanah
bukan pembeli yang beritikad baik, meskipun jual beli telah dilakukan di
hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat, karena ketika pembelian dilakukan
masih terdapat sengketa di pengadilan antara penjual dan pihak ketiga. Dalam
sengketa itu, penjual ternyata akhirnya dihukum untuk menyerahkan tanah (yang
telah dibeli oleh pembeli tadi) kepada lawannya.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 429 K/Pdt/2003[18],
mengandung kaidah hukum bahwa menurut Mahkamah Agung, jika BPN sebelumnya telah
secara tegas menyatakan bahwa objek sengketa (tanah girik) terkait berasal dari
tanah partikelir yang kemudian dinyatakan menjadi tanah negara, maka pengalihan
hak yang dilakukan dihadapan notaris batal. Pembeli tidak dilindungi.
Berdasarkan kaidah hukum dalam setiap putusan
Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa makna perlindungan
hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual
beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan hanya dikenal
di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat ahli hukum atau doktrin. Dalam
praktik peradilan, perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek
tanah tumbuh dan berkembang melalui yurisprudensi, sehingga bentuk perlindungan
hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan kriteria pembeli
beritikad baik berobjek tanah.
[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 15.
[2] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 194.
[3] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil,
Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008.
Bdk. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim
Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat.
Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Prenadamedia. Jakarta, 2008.
[4] Widodo Dwi Putro et al, ibid.
[5]
Ibid, h. 14-15.
[6] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017,
Jakarta, 2017, h.48-49.
[7] Widodo Dwi Putro et al, ibid, h. 16-17.
Bdk. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi
Revisi. Djambatan. Jakarta, 2005.
[8] Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 112 K/Sip/1955 dan Nomor 3447 K/Sip/1956.
Bdk. M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata, Cetakan
ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
[9]
Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 242
K/Sip/1958.
[10]
Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1230
K/Sip/1980.
[11] Widodo Dwi Putro, ibid.
[12] Ibid.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.
[13] Ibid.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604 K/Pdt/1985.
[14]
Vide: Direktori
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/ yang oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama
kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung, dan
diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan Mahkamah Agung sejak tahun 2011
telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut, sehingga putusan seluruh pengadilan
Indonesia dapat diunggah dan diakses publik di direktori putusan Mahkaham Agung
tersebut.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
0 comments: