Albert Usada, 2020: Setelah dipublikasikan dalam edisi bahasa Inggris banyak permintaan pengunjung dan pembaca laman situsweb ini melalui sarana komunikasi email maupun media sosial perpesanan Whatsapp, yang meminta untuk dapat dipublikasikan edisi bahasa Indonesia. Tulisan ini merupakan bagian Tugas Terstruktur Mata Kuliah HK811 Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof. Dr. Achmad Sudjito Atmoredjo, S.H., M.S. pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Maka, dapat dibaca dan disimak edisi bahasa Indonesia beriku di bawah ini.
RATIO
DECIDENDI PUTUSAN HAKIM
TERHADAP PEMBELI BERITIKAD BAIK BEROBJEK
TANAH
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA
Albertus Usada
Mahasiswa Program Studi S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH UNS
Abstract
Ratio decidendi is the reason for the decision of judge, as a legal reason and
consideration that forms the basis of a judge's decision. The meaning of the
perspective of the Pancasila Philosophy regarding the implementation of
judicial power as the power of an independent state to administer justice in a
general court environment in order to enforce law and justice based on
Pancasila and the 1945’s
State Constitution
of the Republic of Indonesia. In
judicial practice, the determination of the buyer in good faith with a land
object is very dependent on the judge examining and trying the case in
question. The construction of the judge's decision to buyers
in good faith with
a land objects includes two
contextual components, a legal
reasoning and a law
making. Context of legal reasoning is
done by analogy, to concretize the principle of law in the provisions of a
statutory regulation. Context of Law Making is based on the methods of interpretation.
Keywords:
ratio decidendi, verdict, buyer in good faith
Abstrak
Ratio decidendi merupakan alasan
dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan hakim. Makna perspektif
Filsafat Pancasila
tentang penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan di lingkungan peradilan umum guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
praktik peradilan, penentuan pembeli beritikad baik berobjek tanah sangat tergantung
kepada hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Konstruksi ratio deciendi putusan
hakim terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah mencakup dua komponen
kontekstual. Pertama, konteks penalaran hukum dan kedua, konteks penemuan
hukum. Konteks Penalaran Hukum dilakukan
dengan cara analogi, untuk konkretisasi asas hukum dalam ketentuan suatu
peraturan perundang-undangan. Konteks Penemuan Hukum dilakukan berdasarkan
metode penafsiran atau interpretasi.
Kata kunci:
ratio decidendi, putusan hakim,
pembeli beritikad baik
A. Pendahuluan
Kajian Pancasila merupakan paradigma
ilmu hukum sebagaimana menurut Sudjito
Atmoredjo[1] menjadi sangat penting dan
perlu dimantapkan berdasarkan argumentasi, antara lain:
a. Paradigma merupakan “seperangkat
nilai tentang Tuhan, alam dan manusia”;
b. Paradigma merupakan sumber,
fondasi, asal dan awal dari keberadaan dan perkembangan ilmu;
c. Paradigma ilmu Indonesia adalah
Pancasila. Artinya, beroleh ilmu hukum dan mengamalkan ilmu hukum harus berporos,
berproses dan bermuara pada nilai-nilai Pancasila.[2]
Seiring dengan kajian Pancasila sebagai paradigma
ilmu hukum berdasarkan argumentasi tersebut, maka Indonesia sebagai Negara
Hukum (rechtstaat) sesuai doktrin
“negara hukum” atau rechtstaat tidak
diterjemahkan begitu saja menjadi “a
state based on the rule of law” yang menurut Budiono Kusumohamidjojo tampaknya paling tepat dialihbahasakan menjadi
“a state base on law”.[3]
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Menurut filsuf Plato sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, bahwa negara hukum
merupakan bentuk paling baik kedua (the
second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Kemudian di zaman modern,
konsep negara hukum dikembangkan di Eropa Kontinental dengan menggunakan
istilah bahasa Jerman yaitu rechtstaat.[4]
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan sebagai
“the Rule of Law” yang dipelopori
oleh AV. Dicey sebagaimana dikutip Jimly Assiddiqie[5]
yang menambahkan konsep negara hukum dikaitkan dengan istilah nomokrasi (nomocratie), bahwa penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Dalam konteks Indonesia sebagai
Negara Hukum (rechtstaat), penyelenggaraan
kekuasaan negara di bidang yudikatif disebut Kekuasaan Kehakiman, yaitu kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[6]
Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[7]
Berdasarkan konsiderans menimbang dan ketentuan
Pasal 1 butir angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, disimpulkan bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia
sebagai Negara Hukum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat Mahkamah Agung) dan empat lingkungan badan peradilan
yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan
peradilan militer di bawah Mahkamah Agung. Maka, kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dilaksanakan oleh
sebuah Mahkamah Agung, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam makalah ini, dibatasi pada lingkungan
Peradilan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang pada
Pasal 1 menentukan bahwa yang dimaksud “Pengadilan”
adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum
(butir angka 1); dan yang dimaksud “Hakim” adalah hakim pada pengadilan
negeri dan hakim pada pengadilan tinggi (butir angka 2).
Ditegaskan, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan
adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan
dalam masyarakat.
Dalam konteks peradilan sebagai proses hukum, Satjipto Raharjo[8]
membedakan makna “peradilan” dan “pengadilan” yaitu “peradilan” menunjuk
pada proses mengadili, sedangkan “pengadilan” merupakan salah satu lembaga
dalam proses mengadili tersebut. Hasil akhir dari proses mengadili tersebut
adalah putusan pengadilan, atau
sering juga digunakan kata “putusan hakim”
karena hakim yang memimpin sidang di pengadilan itu.
Yang dimaksud “hakim”
dalam makalah ini adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan
tinggi serta hakim agung pada Mahkamah Agung. Demikian pula makna “putusan hakim” adalah dapat berupa
putusan pengadilan negeri dan putusan pengadilan tinggi yang berpuncak pada putusan
Mahkamah Agung yang mengandung kaidah hukum tentang perlindungan hukum terhadap
pembeli beritikad baik berobjek tanah.
Frasa “ratio decidendi” putusan hakim bermakna “alasan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan”[9]
oleh hakim yang sangat dikenal di negara-negara dengan tradisi sistem hukum common law yang oleh Sidharta[10]
dinyatakan bahwa secara
harfiah istilah “ratio decidendi” berarti
“alasan untuk menjatuhkan putusan” (the reason for the decision), dan lebih lanjut Sidharta mengutip pendapat Michael Zander[11]
bahwa ratio decidendi adalah “A proposition of law which decides the
case, in the light or in the context of the material facts” (Terjemahan:
Suatu proposisi atau premis hukum yang memutuskan suatu kasus dilihat dari
sudut atau dari konteks fakta-fakta material).
Makna sub-judul “dalam
perspektif Filsafat Pancasila” berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan di
lingkungan peradilan umum guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sudjito Atmoredjo[12]
menyebutkan tentang posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai sumber
dari segala sumber hukum Indonesia. Sedangkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan pesan bermakna dalam bentuk rumusan
Tujuan Negara dan Dasar Negara[13]
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Pancasila.
Berdasarkan uraian latar belakang di bawah judul “Ratio Decidendi Putusan Hakim Terhadap
Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”
tersebut, perlu dikaji dua masalah relevan, sebagai berikut:
1. Apakah makna perlindungan hukum
terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual beli
menurut ketentuan peraturan perundangan dan praktik peradilan di Indonesia menurut
yurisprudensi Mahkamah Agung?
2. Bagaimana konstruksi ratio decidendi putusan hakim menurut
yurisprudensi Mahkamah Agung tentang perlindungan hukum terhadap pembeli
beritikad baik berobjek tanah ?
B. Kekuasaan Kehakiman dan Filsafat Pancasila
Dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman, Hakim dalam perkara perdata adalah hakim yang menerima, memeriksa dan
mengadili perkara sengketa perdata umum di lingkungan peradilan umum, yaitu
tingkat pertama di pengadilan negeri, tingkat banding di pengadilan tinggi, dan
hakim agung tingkat kasasi di Mahkamah Agung.[14]
Tujuan hukum sebagaimana dimaksud
oleh Gustav Radbruch dalam Teguh Presetyo[15]
mencakup keadilan (keadilan),
kepastian hukum (legal certainty) dan
kemanfaatan (expediency) sebagai satu
kesatuan keseimbangan, bersifat tunggal atau tritunggal dan imperatif; tetapi tidak
boleh dipahami sebagai memiliki makna yang terpisah, tidak boleh
dipertentangkan atau didikotomikan serta tidak dapat dilihat sebagai suatu antinomie. Sebab, ketiganya merupakan
refleksi dari tabiat hukum sendiri yaitu keseimbangan sebagai tiga watak hukum
yang dikonseptualisasikan sebagai tujuan hukum.
Untuk Indonesia, menurut Notonagoro dalam Kaelan[16]
bahwa tujuan hukum dimaksud harus dikaitkan dengan kesatuan sila-sila Pancasila
yang bukan hanya kesatuan yang bersifat formal logis dalam arti bersifat
hirarkis dalam bentuk piramidal urut-urutan luas (kuantitas) yang menunjukkan
suatu hakikat makna yang bertingkat, namun juga melihat kesatuan dasar
ontologis, dasar epistemologis dan aksiologis sila-sila Pancasila. Maka, Pancasila
adalah sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya,
seperti materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain
paham filsafat di dunia.
Kemudian, tentang keadilan substantif
dalam bingkai nilai-nilai Pancasila merupakan tujuan akhir dan tertinggi dari
proses penegakan hukum di Indonesia[17]
Agar tujuan itu dapat dicapai, menurut Sudjito
Atmoredjo[18] diperlukan lima
persyaratan, yaitu:
(1) penegakan hukum harus berbasis ilmu hukum
berparadigma Pancasila; (2) keterpaduan tekad bersama para aparat penegak
hukum;
(3) penegakan hukum tidak boleh dipisahkan dari
aspek moral;
(4) keberanian untuk melakukan pembebasan dari
tradisi berpikir dan bertindak yang bersifat legal-positivistik; dan
(5) melibatkan semua komponen bangsa.
Lebih lanjut, Sudjito Atmoredjo[19],
menyebutkan ada benang merah yang tidak boleh putus antara: hukum progresif, keadilan
subtanstif dan nilai-nilai Pancasila yang harus dipahami secara utuh dan
menyeluruh dengan metode pendekatan holistik, dan bukan parsialistik.
C. Hakim dan Ratio
Decidendi Putusan Hakim Perdata
Dalam konteks ini, Hakim adalah pelaku utama dalam
hal suatu proses penegakan hukum dan dalam menjatuhkan putusan. Sebagaimana
dijelaskan di bagian awal, bahwa dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman maupun Hakim
dalam perkara perdata adalah hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili
perkara sengketa perdata umum di lingkungan peradilan umum, yaitu tingkat
pertama di pengadilan negeri, tingkat banding di pengadilan tinggi, dan hakim
agung tingkat kasasi di Mahkamah Agung.[20]
Dalam menjalankan fungsinya, Hakim menjatuhkan suatu
putusan harus didasarkan pada alasan dan pertimbangan tentang mengapa ia
menjatuhkan putusan sedemikian rupa - dikenal sebagai ratio decidendi. Makna ratio recidendi adalah alasan-alasan
yang langsung dalam suatu putusan hakim atau alasan untuk memutuskan, dan pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan hakim atau pengadilan.
Menurut
Satjipto Raharjo[21]
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum melindungi kepentingan
seseorang dengan cara menempatkan suatu kekuasaan yang dilakukan secara terukur
(tertentu dan dalamnya) untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.
Menurut Sudikno Mertokusumo[22],
putusan hakim sebagai penetapan kaidah hukum untuk waktu yang akan datang dan
merupakan pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara yang serupa dengan yang
diputus oleh putusan di kemudian hari (stare
decisis). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh
peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan
oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Apabila putusan dilihat sebagai
penetapan kaidah hukum, maka yang mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang
secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum merupakan dasar
hukum putusan “ratio decidendi.”[23]
Tentang penemuan
hukum, Lili Rasjidi[24] menyebutkan
sebagai kegiatan pengambilan putusan yuridis konkret yang secara langsung
menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan hakim,
ketetapan, pembentukan akta notaris dan sebagainya. Pada dasarnya, penemuan
hukum adalah pencerminan pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum yang
terjadi adalah menetapkan hal-hal yang khusus, maka penemuan hukum adalah
kebalikannya. Dalam penemuan hukum,
hal-hal yang khususlah yang dimunculkan dan pada saat yang sama dikonstatasikan
dampak keberlakuan secara umum. Lili
Rasjidi[25]
menguraikan kegiatan penemuan hukum, pembentukan hukum dan bantuan hukum dalam
bingkai pengembanan hukum (rechtsbeoefening)
secara praktis, yaitu keberlakuan hukum dalam masyarakat yang meliputi kegiatan
dalam membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan, mempelajari dan mengajarkan hukum.
D. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian
Asas
itikad baik dalam berbagai literatur hukum perdata
menurut peneliti Widodo Dwi Putro et al[26],
kurang mendapat perhatian dibanding asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak
dan asas pacta sunt servanda. Menurut
Widodo Dwi Putro et al, kedudukan asas itikad baik sangat
penting. Sebelum para pihak melangkah menuju perjanjian, menyepakati
perjanjian, dan akhirnya harus melaksanakan perjanjian, semua harus didasari
dengan itikad baik. Dalam
praktik peradilan, selama ini telah diyakini bahwa pembeli yang beritikad baik
wajib dilindungi. Namun, peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
memberikan suatu petunjuk yang jelas tentang siapa yang dapat dianggap sebagai
“pembeli yang beritikad baik” tersebut. Pasal 531 KUH Perdata menyebutkan bahwa
kedudukan berkuasa (bezit) itu beritikad baik, apabila si pemegang kedudukan berkuasa (bezitter) “memperoleh hak kebendaan
dengan cara memperoleh hak milik di mana ia tidak mengetahui adanya cacat atau
kekurangan di dalamnya”. Dalam pengaturan
ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya
menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik, namun
juga tidak menentukan lebih lanjut tentang siapa pembeli beritikad baik itu.
Hal ini mungkin bisa dipahami, karena asas itikad baik berada di wilayah
“nilai” yang tidak mudah untuk diturunkan dalam bentuk norma yang konkret.[27]
Beberapa
contoh Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa pembeli tidak beritikad baik,
sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum, sebagai berikut:
1)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan perbuatan apapun
untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.[28]
2)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para penjual.[29]
3)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi pada saat penjual
berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini adalah pemilik awal).[30]
Selanjutnya, diberikan beberapa
contoh Putusan Mahkamah Agung yang kaidah hukumnya menentukan pembeli
beritikad baik yang mendapatkan perlindungan hukum, antara lain:
1)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan penggugat tidak dapat
diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25
tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).[31]
2)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena
pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, sementara pembeli
ke-2 tidak.[32]
3)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena
adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah pihak. Majelis hakim
menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah
terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.[33]
Berdasarkan
kaidah-kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah dalam
konteks subjek perjanjian yaitu pembeli beritikad baik berobjek tanah harus
dilindungi oleh hukum. Penentuan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah
tersebut sangat tergantung kepada hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
yang bersangkutan.
E.
Pemaknaan Pembeli Beritikad Baik
Berobjek Tanah Dalam Praktik Peradilan dan Yurisprudensi Indonesia
Menurut R. Subekti[34],
bahwa pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang sama sekali tidak
mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik,
sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu
barang darinya dilindungi oleh hukum. Sedangkan, Ridwan Khairandi[35]
merumuskan pembeli beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan
penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang
dijualnya itu. Pengertian lain, menurut Agus
Yudha Hernoko[36]
bahwa pembeli beritikad baik adalah orang yang jujur dan tidak mengetahui cacat
yang melekat pada barang yang dibelinya itu.
Pengertian itikad
baik di lingkup hak kebendaan (hak milik) terhadap benda atau barang bergerak,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 531 KUH Perdata mengatur kedudukan seseorang itu
beritikad baik apabila pihak yang memperoleh hak milik terebut tidak mengetahui
adanya cacat tersembunyi. Dalam suatu perjanjian, melindungi pihak yang
beritikad baik dibutuhkan hukum yang dapat memberikan perlindungan kepastian
hukum, salah satu caranya dapat mengajukan upaya hukum gugatan keperdataan ke pengadilan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan
dalam kajian literatur,[37]
jual beli tanah dalam hukum adat dilakukan dengan syarat riil, terang dan
tunai. Makna “riil” adalah kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan nyata, misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya
perjanjian di hadapan Kepala Desa. Makna “tunai” adalah penyerahan hak oleh
penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu
juga hak kepemilikan sudah beralih. Sedangkan, pengertian “terang” jual beli
tanah tersebut dilakukan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa yang berperan sebagai
pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak atas
tanah (ditambah disaksikan dengan saksi-saksi), sehingga perbuatan jual beli
tanah tersebut diketahui oleh umum.
Selanjutnya, makna “pembeli
beritikad baik” sebagaimana diidentifikasi dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[38] sebagai
berikut:
1. Pembeli
yang beritikad baik adalah pembeli yang tidak mengetahui dan tidak dapat
dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya cacat cela dalam proses peralihan
hak atas tanah yang dibelinya.
2. Pembeli
dapat dianggap beritikad baik, jika ia telah memeriksa secara seksama fakta
material (data fisik) dan keabsahan peralihan hak (data yuridis) atas tanah
yang dibelinya, sebelum dan pada saat proses peralihan hak atas tanah. Jika
pembeli mengetahui atau dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui cacat cela
dalam proses peralihan hak atas tanah (misalnya ketidakwenangan penjual), namun
ia tetap meneruskan jual beli, pembeli tidak dapat dianggap beritikad baik.
3. Dalam
perkara lelang, putusan-putusan hakim pada dasarnya melindungi pembeli lelang,
kecuali ketika pembeli menyalahgunakan keadaan atau hak atas tanah terkait
ternyata telah dihapuskan.
4. Meskipun
terdapat ketentuan yang membatasi bahwa keberatan atau gugatan atas hak atas
tanah terdaftar hanya dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun, namun
jangka waktu ini pada praktiknya tidak mengikat. Karena, ketentuan daluwarsa
ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempersyaratkan adanya itikad baik
pemegang sertifikat yang harus ditetapkan oleh hakim (lihat poin 2 di atas), di
samping sertifikat harus diterbitkan secara sah dan tanah dikuasai secara nyata
oleh pemegang sertifikat.
Mahkamah Agung RI
melalui Surat Edaran (SEMA), yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2016, pada bagian Perdata
Umum telah merumuskan kriteria pembeli yang beritikad baik dengan maksud untuk memberikan
kepastian hukum bagi pembeli berobjek tanah. Dalam kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata
selanjutnya, sebagaimana dilampirkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut yang
menyempurnakan Kesepakatan Kamar Perdata dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata, adalah sebagai berikut:[39]
a. Melakukan
jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang
sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
-
Pembelian tanah melalui
pelelangan umum; atau
-
Pembelian tanah dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah - PPAT (sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah); atau
-
Pembelian terhadap
tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum
adat, yaitu:
- dilakukan
secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);
- didahului
dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian
tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;
-
Pembelian dilakukan
dengan harga yang layak.
b. Melakukan
kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan,
antara lain:
-
Penjual adalah orang
yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan
bukti kepemilikannya; atau
-
Tanah/objek yang
diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau
-
Tanah/objek yang
diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau
-
Terhadap tanah yang
bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum
antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Dalam praktik, putusan-putusan
Mahkamah Agung sejak tahun 1950-an yaitu sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) - telah memberikan penafsiran atas pengertian “pembeli beritikad
baik” dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[40].
Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli beritikad baik diartikan sebagai
pembeli yang sekali-kali tidak menduga bahwa orang yang menjual suatu benda
(bukan satu-satunya) orang yang berhak atas benda yang dijualnya.[41]
Demikian pula, kaidah hukum Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli yang tidak
mengetahui adanya cacat hukum (dalam jual beli yang dilakukannya) adalah
pembeli yang beritikad baik.[42]
Sesudah berlakunya UUPA, Mahkamah Agung
masih memaknai “pembeli beritikad baik” sebagai pembeli yang tidak mengetahui
adanya kekeliruan dalam proses jual beli (peralihan hak), seperti telah
dicabutnya surat kuasa penjual oleh pemilik asal tanahnya.[43]
Sebagaimana hasil penelitian Widodo Dwi
Putro et al[44]
bahwa itikad baik juga mulai memperoleh makna lain, yaitu pembeli telah
dianggap beritikad baik, apabila jual beli telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.[45]
Demikian pula, pembeli juga dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik, jika
tanah diperoleh dari kantor lelang negara, berikut surat-surat kepemilikannya.[46]
Situsweb Direktori
Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 114 K/Pdt/2013[47]
menyebutkan kaidah hukum bahwa pembeli sebagai pemohon kasasi mendalilkan bahwa
dirinya adalah pembeli beritikad baik, karena jual beli dilakukan dihadapan Notaris/PPAT,
namun menurut Mahkamah Agung bahwa karena tanah obyek sengketa adalah harta
gono-gini dan sebelumnya telah ada putusan pengadilan yang membatalkan akta
jual beli berdasarkan hal tersebut, maka permohonan harus ditolak.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1847 K/Pdt/2006[48]
menyebutkan bahwa karena jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, Mahkamah
Agung menilai pembeli dalam hal ini bukan pembeli beritikad baik, karena sudah
mengetahui bahwa objek jual beli sedang dan telah dalam penguasaan pihak lain
sejak tahun 1963.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1923 K/Pdt/2013[49]
menyebutkan, Mahkamah Agung dalam perkara ini menilai bahwa pembeli bukan
pembeli beritikad baik, meskipun telah memegang sertifikat hak atas tanah atas
namanya sejak tahun 1999 dan 2000, karena pada waktu pembelian dia dianggap
tidak mencermati objek tanah yang ternyata dikuasai oleh orang lain.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1861 K/Pdt/2005[50],
Mahkamah Agung menganggap bahwa pembeli
tanah bukan pembeli yang beritikad baik, meskipun jual beli telah dilakukan di
hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat, karena ketika pembelian dilakukan
masih terdapat sengketa di pengadilan antara penjual dan pihak ketiga. Dalam
sengketa itu, penjual ternyata akhirnya dihukum untuk menyerahkan tanah (yang
telah dibeli oleh pembeli tadi) kepada lawannya.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 429
K/Pdt/2003[51], mengandung kaidah hukum bahwa
menurut Mahkamah Agung, jika BPN sebelumnya telah secara tegas menyatakan bahwa
objek sengketa (tanah girik) terkait berasal dari tanah partikelir yang
kemudian dinyatakan menjadi tanah negara, maka pengalihan hak yang dilakukan
dihadapan notaris batal. Pembeli tidak dilindungi.
Berdasarkan kaidah hukum dalam
setiap putusan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa makna perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah
dalam konteks hukum jual beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia, dan hanya dikenal di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat
ahli hukum atau doktrin. Dalam praktik peradilan, perlindungan hukum terhadap pembeli
beritikad baik berobjek tanah tumbuh dan berkembang melalui yurisprudensi,
sehingga bentuk perlindungan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan
kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah.
F.
Konstruksi Ratio Decidendi Putusan Hakim menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang
Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah
Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan Negara
tertinggi, yang sejak tahun 2011 menerapkan Sistem Kamar[52]
melalui Keputusan Ketua MA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, yaitu memberlakukan sebuah
kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada MA. Dalam Sistem Kamar MA tersebut,
mengelompokkan hakim agung ke dalam lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana,
kamar agama, kamar tata usaha negara dan kamar militer. Hakim agung
masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk
dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya
mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili
perkara pidana saja. Demikian pula, hakim agung kamar tata usaha negara hanya
mengadili perkara tata usaha negara.
Sementara itu, Ketua MA M. Hatta Ali[53]
menegaskan bahwa rapat pleno kamar tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem
kamar dalam penanganan perkara di MA. Sistem kamar ini memiliki beberapa tujuan
utama, sebagai berikut:
a. menjaga kesatuan penerapan hukum;
b. konsistensi putusan MA;
c. meningkatkan profesionalitas
hakim agung; dan
d. mempercepat proses penyelesaian
perkara.
Konstruksi ratio
decidendi putusan hakim menurut yurisprudensi MA tentang “perlindungan hukum terhadap pembeli
beritikad baik berobjek tanah” berarti bagaimana bangunan alasan dan
pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, yaitu sebagai
konstruksi ratio decidendi putusan
hakim yang didasarkan pada penalaran hukum dan penemuan hukum dalam menentukan
kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui
yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut menuju kesatuan penerapan
hukum dan konsistensi putusan.
Menurut Ridwan Khairandy[54]
bahwa ketika hakim mengadili suatu perkara, maka pertama yang perlu dilakukan
hakim adalah mengkonstatasi benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya.
Setelah mengkontatasi peristiwanya, hakim harus mengkualifikasi peristiwanya.
Kemudian, hakim harus dapat menentukan hukum apa yang akan diterapkan untuk
menyelesaikan sengketa yang bersangkutan. Maka, di sini hakim harus menemukan
hukum. Hakim di Indonesia dalam menemukan hukum dapat merujuk kepada beberapa
sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Di
Indonesia, hakim tidak terikat kepada yurisprudensi atau putusan hakim yang
terdahulu dalam kasus yang sebangun. Dalam hal ini, pengadilan di Indonesia
tidak menganut asas the binding force of
precedent atau stare decisis[55].
Ridwan Khairandy[56]
menegaskan bahwa
dampak negatif tidak dianutnya asas ini adalah dimungkinkannya putusan
pengadilan menjadi tidak konsisten dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Di lain pihak, tidak dianutnya asas ini ternyata juga menimbulkan peluang bagi
hakim atau pengadilan untuk membangun hukum yudisial baru yang dapat mengikuti
perkembangan masyarakat dalam putusan-putusannya.[57]
Pemaknaan itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata oleh
Pengadilan Tinggi Surabaya ditafsirkan sebagai kejujuran sebagaimana dalam putusannya Nomor 262/1951 Pdt tanggal
31 Juli 1952 yang oleh Ridwan Khairandy
diberikan catatan, bahwa kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa
(onderzoekplicht) fakta material yang
berkaitan dengan perjanjian jual beli. Itikad baik bersifat objektif (objective goeder trouw) didasarkan pada kepantasan
dan kepatutan (redelijkheid en
billijkheid) sebagai keadilan. Itikad baik bersifat subjektif (subjective goeder trouw) didasarkan
kepada kejujuran.[58]
Konstruksi ratio
decidendi
putusan hakim yang didasarkan pada konteks penalaran hukum dan konteks penemuan
hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai
standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut
adalah bertujuan untuk kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.
Konteks Penalaran Hukum
Konteks
penalaran hukum (legal reasoning)
berkenaan dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan
bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Kaidah-kaidah hukum
dalam Putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa pembeli
tidak beritikad baik, sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum,
sebagai berikut:
1)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan perbuatan apapun
untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.[59]
2)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para penjual.[60]
3)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik
dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi pada saat penjual
berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini adalah pemilik awal).[61]
Sedangkan kaidah hukum
dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung di bawah ini yang pada pokoknya menentukan
bahwa pembeli beritikad baik yang mendapatkan
perlindungan hukum, antara lain:
1)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan penggugat tidak dapat
diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25
tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).[62]
2)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena
pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, sementara pembeli
ke-2 tidak.[63]
3)
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena
adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah pihak. Majelis hakim
menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah
terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.[64]
Konteks Penemuan Hukum
Konteks
penemuan hukum (rechtsvinding) berkenaan
dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding) tersebut dilakukan dengan cara berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi, yaitu konkretisasi asas
hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan
bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Penafsiran atau inteprestasi merupakan salah satu metode
penemuan hukum untuk memberikan penjelasan tentang suatu teks ketentuan
perundang-undangan agar ruang lingkup suatu kaidah (hukum) dapat ditetapkan terhadap
suatu peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Metode penafsiran atau intepretasi
merupakan sarana untuk mengetahui makna teks suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Metode penafsiran atau intepretasi ini bukan merupakan metode
yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, akan tetapi
merupakan penjabaran dari putusan-putusan hakim yang telah dijatuhkan lebih
dahulu. Penafsiran atau intepretasi dikenal jenisnya, yaitu penafsiran menurut
bahasa / gramatikal, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran sistematis
atau logis, penafsiran historis, penafsiran perbandingan hukum, dan penafsiran futuristik.
Berdasarkan
kaidah-kaidah hukum dalam banyak putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi Yurisprudensi
Tetap sebagaimana telah disinggung di atas, maka penjabaran lebih jauh adalah dengan
diberlakukannya Sistem Kamar pada Mahkamah Agung sejak tahun 2011 dan berlaku
secara bertahap dari tahun 2012 sampai dengan sekarang (2019). Maka, Mahkamah
Agung telah memberikan pedoman bagi segenap hakim yang menangani perkara
sejenis atau mirip dengan perkara terdahulu yang telah diputus dan berkekuatan
hukum tetap sebagai bagian dari Hukum Yurisprudensi. Tujuannya adalah untuk
memberikan kesatuan penerapan hukum (unformity)
dan konsistensi putusan.
Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan Rapat Pleno Kamar
Perdata telah merumuskan kriteria pembeli beritikad
baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pembeli beritikad
baik berobjek tanah. Di samping itu, juga merupakan konstruksi hukum
sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek
tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai konkretisasi asas
itikad baik (bona fides, te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt
servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:[65]
a.
Melakukan jual beli
atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah
sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
-
Pembelian tanah melalui
pelelangan umum; atau
-
Pembelian tanah dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau
-
Pembelian terhadap
tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum
adat, yaitu:
- dilakukan
secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);
- didahului
dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan
penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik
penjual;
-
Pembelian dilakukan
dengan harga yang layak.
b.
Melakukan kehati-hatian
dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara
lain:
-
Penjual adalah orang
yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan
bukti kepemilikannya; atau
-
Tanah/objek yang
diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau
-
Tanah/objek yang
diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau
-
Terhadap tanah yang
bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum
antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Dengan demikian, Sistem Peradilan
Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) harus membangun kesatuan penerapan
hukumnya (uniformity) agar dalam praktik
peradilan di Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur dan ajeg, sehingga rasa keadilan, dan
kepastian hukum serta kemanfaatan hukum dapat mewujud.
G. Penutup
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat ditarik simpulan, sebagai
berikut:
1.
Makna
perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks
hukum jual beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
dan hanya dikenal di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat ahli hukum atau
doktrin. Dalam praktik peradilan di Indonesia, perlindungan hukum terhadap
pembeli beritikad baik berobjek tanah tumbuh dan berkembang melalui
yurisprudensi, sehingga bentuk perlindungan hukumnya diserahkan sepenuhnya
kepada hakim untuk menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek
tanah.
2.
Konstruksi
ratio deciendi putusan hakim menurut
yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah
mencakup dua komponen kontekstual, yaitu konteks penalaran hukum (legal reasoning) dan konteks penemuan
hukum (rechtsvinding).
2.1. Konteks Penalaran Hukum (legal reasoning) dilakukan dengan cara analogi, untuk konkretisasi asas hukum dalam
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menentukan bahwa Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. Penalaran hukum dengan cara analogi
tersebut mempunyai arti penting sebagai ratio
decidendi putusan hakim untuk menjawab dan menjelaskan tentang (apakah) makna
pembeli beritikad
baik berobjek tanah yang dilindungi hukum dalam praktik peradilan di Indonesia
melalui yurisprudensi Mahkamah Agung.
2.2. Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding)
dilakukan dengan cara berdasarkan metode
penafsiran atau interpretasi, untuk
konkretisasi asas hukum dalam ketentuan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menentukan bahwa: Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum yang didasarkan pada
metode penafsiran atau intepretasi tersebut mempunyai arti penting sebagai ratio decidendi putusan hakim untuk
menjawab dan menjelaskan tentang (bagaimana) kriteria pembeli beritikad baik
berobjek tanah yang dilindungi hukum dalam praktik pengadilan di Indonesia
melalui yurisprudensi Mahkamah Agung.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian
Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan
Rapat Pleno Kamar Perdata telah merumuskan kriteria
pembeli beritikad baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan bagi pembeli beritikad baik berobjek tanah. Di samping itu, merupakan
konstruksi hukum sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad
baik berobjek tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai
konkretisasi asas itikad baik (bona fides,
te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt
servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Ali, Hatta. 2012. Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif.
Cetakan ke-1. Alumni. Bandung.
Asnawi, M. Natsir. 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Cetakan ke-1. UII Press. Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Konstitusi Press. Jakarta.
Atmoredjo, Sudjito. 2018. Hukum Dalam Pelangi Kehidupan. Dialektika. Yogyakarta.
Atmoredjo, Sudjito. 2019. Hukum
dan Kebangsaan Kemasyarakatan Keadilan Keadaban. Dialektika. Yogyakarta.
Efendi, Jonaedi. 2018. Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-nilai Hukum
dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat. Edisi Pertama. Cetakan ke-1.
Prenadamedia. Jakarta.
Fauzan, M. 2014. Kaidah
Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata. Cetakan ke-1.
Prenadamedia Group. Jakarta.
________ . 2018. Kaidah-Kaidah
Hukum Yurisprudensi Norma-Norma Baru Dalam Hukum Kasus. Cetakan ke-2.
Prenadamedia Group.
Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip,
Penanganannya Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi Negara. Bina Ilmu. Surabaya.
Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi. Djambatan. Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha. 2008. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil.
Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama. Yogyakarta.
Kaelan. 2016.
Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi. Edisi Revisi. Paradigma. Yogyakarta.
Khairandy,
Ridwan. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan
Berkontrak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jakarta.
Mertokusumo,
Sudikno. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan ke-6. Liberty. Yogyakarta.
Mertokusumo,
Sudikno dan A. Pitlo. 2013. Bab-Bab
Tentang Penemuan Hukum. Cetakan ke-2. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Notonagoro.
1974. Pancasila sebagai Dasar Falsafah
Negara. Cetakan ke-4. Pantjuran Tujuh. Jakarta.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2019. Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan. Cetakan ke-3 Edisi
Kedua. Yrama Widya. Bandung.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia. 2017. Himpunan
Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017. Mahkamah Agung RI. Jakarta.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia. 2005. Himpunan
Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun
1969-2004. Mahkamah Agung RI. Jakarta.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2008. Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa dan
Dihormati: Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas. Cetakan ke-1.
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Jakarta.
Manan, Bagir. 2014. “Judicial Precedent dan Stare Decisis (Sebagai Pengenalan)” dalam
Varia Peradilan. Ikatan Hakim Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXX No. 347
Oktober 2014.
Manullang, E. Fernando M. 2017. Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum. Cetakan ke-2. Kencana.
Jakarta.
Mappiase, Syarief. 2017. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Cetakan ke-2. Kencana.
Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Penelitian
Hukum. Edisi Revisi. Cetakan ke-13. Kencana. Jakarta.
Panggabean, H.P. 2014. Analisis Yurisprudensi Hukum Bisnis. Cetakan ke-1. Alumni. Bandung.
Prasetyo, Teguh. 2015. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Cetakan ke-1. Nusa
Media. Bandung.
Prasetyo, Teguh. 2015. Keadilan Bermartabat Perpektif Teori Hukum. Cetakan ke-1. Nusa
Media. Bandung.
Prasetyo, Teguh dan Arie Purnomosidi. 2014. Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila.
Nusa Media. Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 1976. Hukum,
Masyarakat dan Pembangunan. Cetakan ke-5. Alumni, Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Cetakan ke-5. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Cetakan ke-9. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Subekti, R. 2014. Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sunarto. 2014. Peran
Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Kencana.
Jakarta.
Swantoro, Herri. 2017. Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali.
Cetakan ke-1. Prenadamedia Group. Jakarta.
Zander,
Michael. 2015. The Law Making Process.
Sixth Edition. Cambridge University
Press. United Kingdom.
B. Jurnal/Penelitian/Artikel
Widodo
Dwi Putro, et al. 2016. “Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik Perlindungan
Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobjek Tanah”,
Kerjasama Judicial Sector Support Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di
Indonesia dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP).
Widodo
Dwi Putro, et al. 2016. “Penelitian Socio Legal Pembeli Beritikad
Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli”, Kerjasama Judicial Sector Support
Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dengan Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
C. Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentag Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Unddang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum.
D.
Putusan Mahkamah Agung RI
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 120 K/SIP/1957.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 251 K/Sip/1958.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 34/K/Sip/1960.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 2370 K/Pdt/1992.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 570 K/Pdt/1999.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 2863 K/Pdt/1999.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1168 K/PDT/2013
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 52 K/Pdt/2005.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1091 K/Pdt/2009.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 252 K/Pdt/2002.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 300 PK/Pdt/2009.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 252 K/Pdt/2002.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 596 K/Pdt/2012.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1091 K/Pdt/2010.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112
K/Sip/1955
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3447
K/Sip/1956.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 242 K/Sip/1958.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1230 K/Sip/1980.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604
K/Pdt/1985.
E. Majalah / Internet
Varia Peradilan. “Judicial Precedent dan Stare Decisis (Sebagai Pengenalan).” Ikatan
Hakim Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXX No. 347 Oktober 2014.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2008. Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa dan
Dihormati: Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas. Cetakan ke-1.
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Jakarta.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/ yang
oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat
kerja Nasional Mahkamah Agung dan diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan
Mahkamah Agung sejak tahun 2011 telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut,
sehingga putusan seluruh pengadilan Indonesia dapat diunggah di direktori
http://leip.or.id/wpcontent/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Pembeli-Beritikad-Baik-Hukum-Perdata.pdf.
akses internet pada hari Rabu, 9 Oktober 2019.
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/
akses internet pada hari Kamis, 3 Oktober 2019.
https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm
Artikel Takdir Rahmadi: “Sistem Kamar
Dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum” diakses pada hari
Rabu 2 Oktober 2019 pukul 21.22 wib.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e437b01b5d/mengintip-hasil-rapat-pleno-kamar-tahun-2018/
Link Berita Hukum Online tentang “Sistem
Kamar Mahkamah Agung” diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2019 pukul 00.12
wib.
[1] Sudjito
Atmoredjo, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan,
Dialektika, Cetakan IV, Yogyakarta 2018, h. 33.
[2] Sudjito
Atmoredjo mengacu pada hasil Simposium dan Sarasehan tentang Pancasila di
Universitas Gajah Mada (UGM) pada pertengahan 2006 maupun Seminar Nasional
tentag Nilai-nilai Pancasila di Universitas Pancasila Jakarta pada akhir tahun
2006.
[3] Budiono
Kusumohamidjojo, Teori Hukum Dilema
antara Hukum dan Kekuasaan, Yrama Widya, Edisi Kedua, Cetakan III, Bandung
2019, h. 227-228.
[4]
Philipus M. Hadjon, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip, Penanganannya
Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, h. 30.
[5]
Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia,
Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, h. 152.
[6] vide: Pasal 1 butir angka 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7] vide: Konsiderans “Menimbang” pada huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian disebutkan pada huruf b yaitu “bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan
sistem peradilan yang terpadu.”
[8] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-5,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 182.
[9] Bandingkan dengan Pasal 33 pada butir
huruf e Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tentang pengujian undang-undang memuat sebagaimana disebutkan pada
huruf a s/d h Pasal 33, pada “huruf e.
pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan”.
[10] Sidharta,
Maret 2019, Ratio Decidendi dan Kaidah
Yuridprudensi pada link https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/
diakses internet pada hari Kamis, 3 Oktober 2019
[11] Michael
Zander, 2004, The Law Making Process,
Cambridge University Press, United Kingdom dalam Sidharta, ibid.
[12] Sudjito
Atmoredjo, op.cit, h. 55. Dijelaskan,
bahwa fokus kajian tentang posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sumber
dari segala sumber hukum Indonesia tersebut merupakan fokus kajian ketiga, disamping dua fokus kajian
lainnya, yaitu pertama tentang Negara
Hukum (dari rechtstaat menuju rule of law), dan fokus kedua tentang peranan Pancasila dalam
pembentukan hukum termasuk tata urutan hukum, sebagaimana topik pada Kongres Pancasila yang merupakan
hasil kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gajah Mada (UGM) tanggal 30
Mei - 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM, Yogyakarta.
[13] Sudjito
Atmoredjo, op.cit, h. 59, dan h. 87,
menyebutkan tujuan Negara dan Dasar Negara: (1) melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan (4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan
empat tujuan Negara tersebut, Sudjito Atmoredjo menyatakan sebagai tujuan untuk
mewujudkan peri kehidupan yang terpancar kemuliaan niat, wawasan dan cita-cita
luhur para founding fathers.
[14] Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
[15] Teguh
Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif
Teori Hukum, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2015, h.122-123.
[16] Kaelan,
Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi, Edisi Revisi, Paradigma, Yogyakarta, 2016, h. 13; yang
mengutip dari Notonagoro, Pancasila sebagai
Dasar Falsafah Negara, Cetakan ke-4, Pantjuran Tujuh, Jakarta, 1974, h. 61.
[17] Sudjito
Atmoredjo, op.cit, h. 119.
[18] Ibid. Bdk. Hatta Ali, Peradilan
Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restorartif,
Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2012.
[19] Ibid.
[20] vide:
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
[21] Satjipto Raharjo, Ilmu
Hukum, Cetakan ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 53-69. Bandingkan dalam Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan,
Alumni, Bandung, 1976.
[22] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan ke-6, Liberty, Yogyakarta,
2009, h. 54.
Bdk. Sudikno Mertokusumo dan A.
Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h. 45-46.
[23] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan ke-6, Liberty, Yogyakarta,
2009, h. 54.
[24] Lili Rasjidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan teori Hukum, Cetakan ke-9, Citra Aditya
Bakti, 2004, h. 160.
[25] Ibid, 159-160.
[26] Widodo Dwi Putro, et al, “Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli
Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobjek Tanah”, Kerjasama Judicial
Sector Support Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dengan
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2016, h. 26.
[27] Ibid.
[28] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, Jakarta 2005.
[29]
Ibid.
[30]
Ibid.
[31] Ibid.
[32]
Ibid.
[33]
Ibid.
[34] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 15.
[35] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 194.
[36] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil,
Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008.
Bdk. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim
Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat.
Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Prenadamedia. Jakarta, 2008.
[37] Widodo Dwi Putro et al, ibid.
[38]
Ibid, h. 14-15.
[39] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017,
Jakarta, 2017, h.48-49.
[40] Widodo Dwi Putro et al, ibid, h. 16-17.
Bdk. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi
Revisi. Djambatan. Jakarta, 2005.
[41] Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 112 K/Sip/1955 dan Nomor 3447 K/Sip/1956.
Bdk. M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata, Cetakan
ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
[42]
Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 242
K/Sip/1958.
[43]
Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1230
K/Sip/1980.
[44] Widodo Dwi Putro, ibid.
[45] Ibid.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.
[46] Ibid.
Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604 K/Pdt/1985.
[47]
Vide: Direktori
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/ yang oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama
kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung, dan
diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan Mahkamah Agung sejak tahun 2011
telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut, sehingga putusan seluruh pengadilan
Indonesia dapat diunggah dan diakses publik di direktori putusan Mahkaham Agung
tersebut.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Takdir Rahmadi, Sistem Kamar Dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum, dalam Link
Artikel di https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm diakses pada hari Rabu 2 Oktober 2019 pukul 21.22
wib.
[53]
M. Hatta Ali, Sistem Kamar
Mahkamah Agung dalam Link Berita Hukum
Online di https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e437b01b5d/mengintip-hasil-rapat-pleno-kamar-tahun-2018/
diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2019 pukul 00.12 wib.
[54] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 261-262.
[55] Ibid.
[56] Ibid.
[57] Bdk.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 160-162.
[58] Ridwan Khairandy, ibid.
[59] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, Jakarta 2005.
[60]
Ibid.
[61]
Ibid.
[62] Ibid.
[63]
Ibid.
[64]
Ibid.
[65] Vide:
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan
Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017, Jakarta, 2017, h.48-49.
0 comments: