Albert Usada, 2020: Konstruksi
Ratio Decidendi Putusan Hakim Tentang Perlindungan Hukum terhadap Pembeli
Beritikad Baik Berobjek Tanah
Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan Negara
tertinggi, yang sejak tahun 2011 menerapkan Sistem Kamar
melalui Keputusan Ketua MA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, yaitu memberlakukan sebuah
kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada MA. Dalam Sistem Kamar MA tersebut,
mengelompokkan hakim agung ke dalam lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana,
kamar agama, kamar tata usaha negara dan kamar militer. Hakim agung
masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk
dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya
mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili
perkara pidana saja. Demikian pula, hakim agung kamar tata usaha negara hanya
mengadili perkara tata usaha negara.
Sementara itu, Ketua MA M. Hatta Ali
menegaskan bahwa rapat pleno kamar tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem
kamar dalam penanganan perkara di MA. Sistem kamar ini memiliki beberapa tujuan
utama, sebagai berikut:
a.
menjaga
kesatuan penerapan hukum;
b.
konsistensi
putusan MA;
c.
meningkatkan
profesionalitas hakim agung; dan
d.
mempercepat
proses penyelesaian perkara.
Konstruksi ratio
decidendi putusan hakim menurut yurisprudensi MA tentang “perlindungan hukum terhadap pembeli
beritikad baik berobjek tanah” berarti bagaimana bangunan alasan dan
pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, yaitu sebagai
konstruksi ratio decidendi putusan
hakim yang didasarkan pada penalaran hukum dan penemuan hukum dalam menentukan
kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui
yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut menuju kesatuan penerapan
hukum dan konsistensi putusan.
Menurut Ridwan
Khairandy bahwa ketika hakim
mengadili suatu perkara, maka pertama yang perlu dilakukan hakim adalah
mengkonstatasi benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah
mengkontatasi peristiwanya, hakim harus mengkualifikasi peristiwanya. Kemudian,
hakim harus dapat menentukan hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan
sengketa yang bersangkutan. Maka, di sini hakim harus menemukan hukum. Hakim di
Indonesia dalam menemukan hukum dapat merujuk kepada beberapa sumber hukum
seperti peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Di Indonesia, hakim tidak
terikat kepada yurisprudensi atau putusan hakim yang terdahulu dalam kasus yang
sebangun. Dalam hal ini, pengadilan di Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis.
Ridwan Khairandy
menegaskan bahwa
dampak negatif tidak dianutnya asas ini adalah dimungkinkannya putusan
pengadilan menjadi tidak konsisten dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Di lain pihak, tidak dianutnya asas ini ternyata juga menimbulkan peluang bagi
hakim atau pengadilan untuk membangun hukum yudisial baru yang dapat mengikuti
perkembangan masyarakat dalam putusan-putusannya.
Pemaknaan itikad
baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata oleh Pengadilan Tinggi
Surabaya ditafsirkan sebagai kejujuran
sebagaimana dalam putusannya Nomor 262/1951 Pdt tanggal 31 Juli 1952 yang oleh Ridwan Khairandy diberikan catatan,
bahwa kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoekplicht) fakta material yang
berkaitan dengan perjanjian jual beli. Itikad baik bersifat objektif (objective goeder trouw) didasarkan pada kepantasan
dan kepatutan (redelijkheid en
billijkheid) sebagai keadilan. Itikad baik bersifat subjektif (subjective goeder trouw) didasarkan
kepada kejujuran.
Konstruksi ratio
decidendi
putusan hakim yang didasarkan pada konteks penalaran hukum dan konteks penemuan
hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai
standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut
adalah bertujuan untuk kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.
Konteks
Penalaran Hukum
Konteks penalaran hukum (legal reasoning) berkenaan dengan suatu
asas hukum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Kaidah-kaidah hukum dalam Putusan
Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa pembeli tidak beritikad baik,
sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum, sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum
bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan
perbuatan apapun untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.
2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum
bahwa itikad baik dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para
penjual.
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum
bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi
pada saat penjual berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini
adalah pemilik awal).
Sedangkan kaidah hukum dalam beberapa Putusan
Mahkamah Agung di bawah ini yang pada pokoknya menentukan bahwa pembeli beritikad baik yang mendapatkan
perlindungan hukum, antara lain:
1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan
penggugat tidak dapat diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan
perihal tersebut selama 25 tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).
2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik
dianggap ada, karena pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan,
sementara pembeli ke-2 tidak.
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik
dianggap ada, karena adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah
pihak. Majelis hakim menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah
terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.
Konteks
Penemuan Hukum
Konteks penemuan hukum (rechtsvinding) berkenaan dengan suatu
asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding) tersebut dilakukan dengan cara berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi, yaitu konkretisasi asas
hukum dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim
dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penafsiran atau inteprestasi
merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk memberikan penjelasan tentang
suatu teks ketentuan perundang-undangan agar ruang lingkup suatu kaidah (hukum)
dapat ditetapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim
merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima
oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret.
Metode penafsiran atau intepretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna teks
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Metode penafsiran atau intepretasi ini
bukan merupakan metode yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam
penemuan hukum, akan tetapi merupakan penjabaran dari putusan-putusan hakim
yang telah dijatuhkan lebih dahulu. Penafsiran atau intepretasi dikenal
jenisnya, yaitu penafsiran menurut bahasa / gramatikal, penafsiran teleologis
atau sosiologis, penafsiran sistematis atau logis, penafsiran historis,
penafsiran perbandingan hukum, dan penafsiran futuristik.
Berdasarkan
kaidah-kaidah hukum dalam banyak putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi
Yurisprudensi Tetap sebagaimana telah disinggung di atas, maka penjabaran lebih
jauh adalah dengan diberlakukannya Sistem Kamar pada Mahkamah Agung sejak tahun
2011 dan berlaku secara bertahap dari tahun 2012 sampai dengan sekarang (2019).
Maka, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman bagi segenap hakim yang menangani
perkara sejenis atau mirip dengan perkara terdahulu yang telah diputus dan
berkekuatan hukum tetap sebagai bagian dari Hukum Yurisprudensi. Tujuannya
adalah untuk memberikan kesatuan penerapan hukum (unformity) dan konsistensi putusan.
Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan Rapat Pleno Kamar
Perdata telah merumuskan kriteria pembeli beritikad
baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pembeli beritikad
baik berobjek tanah. Di samping itu, juga merupakan konstruksi hukum
sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek
tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai konkretisasi asas
itikad baik (bona fides, te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt
servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
a.
Melakukan jual beli atas objek tanah
tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah
ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
-
Pembelian tanah melalui pelelangan umum;
atau
-
Pembelian tanah dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau
-
Pembelian terhadap tanah milik adat/yang
belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:
-
dilakukan secara tunai dan terang (di
hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);
-
didahului dengan penelitian mengenai
status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;
-
Pembelian dilakukan dengan harga yang
layak.
b.
Melakukan kehati-hatian dengan meneliti
hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:
-
Penjual adalah orang yang
berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan
bukti kepemilikannya; atau
-
Tanah/objek yang diperjualbelikan
tersebut tidak dalam status disita; atau
-
Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak
dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau
-
Terhadap tanah yang bersertifikat, telah
memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut
dengan pemegang sertifikat.
Dengan demikian, Sistem Peradilan Indonesia yang
merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) harus membangun kesatuan penerapan hukumnya (uniformity) agar dalam praktik peradilan
di Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur dan ajeg, sehingga rasa keadilan, dan
kepastian hukum serta kemanfaatan hukum dapat mewujud.