by Albert Usada, 20200728, MyORCID 0000-0002-1793-0568, ID 4300363:
Kasus
Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di kawasan Hutan Lindung Gambut Rawa
Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh (dahulu
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam) telah menyita perhatian publik sejak tahun
2012 hingga 2017 dan hingga sekarang (selanjutnya disebut Kasus Karhutla Gambut Rawa Tripa). Dua pihak yang saling berhadapan
dalam Kasus Karhutla Rawa Tripa, berkenaan dengan Hak Gugat Pemerintah mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan
tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup[1], diajukan oleh Kementerian
Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat
Kementerian LHK-RI) sebagai
penggugat lawan PT. Kallista Alam sebagai korporasi atau perusahaan perkebunan
sawit sebagai tergugat.[2]
Kasus
Karhutla Gambut Rawa Tripa, bermula dari PT. Kallista Alam yang berkedudukan di
Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh memperoleh
Izin Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang
Izin Usaha Perkebunan Budidaya untuk
membuka areal perkebunan sawit di atas kawasan
hutan lindung lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.605 hektar. Berdasarkan izin
Gubernur Aceh itu, pihak PT. Kallista Alam telah membuka lahan hutan gambut Rawa
Tripa dengan cara membakar pada waktu bulan Mei-Juni 2011 dan berlanjut pada
bulan Maret, Mei dan Juni 2012 di tempat titik api kebakaran (hotspot) lahan gambut Rawa Tripa seluas
kurang lebih 1000 (seribu) hektar.
Kemudian, Negara melalui Kementerian
LHK-RI pada sekitar medio tahun 2012 telah
mengajukan gugatan perdata sengketa
lingkungan hidup terhadap korporasi
PT. Kallista Alam di Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, dalam artikel ini dapat disingkat sebagai Kementerian
LHK-RI v. PT. Kallista Alam[3].
Proses hukum gugatan perdata lingkungan hidup tersebut telah diputus pengadilan,
yaitu Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt.G/2012/PN-MBO tanggal 8
Januari 2014 jo. Putusan Pengadilan
Negeri Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 651
K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017.[4]
Gugatan perdata lingkungan hidup itu
dimenangkan pihak penggugat Kementerian LHK-RI, karena Putusan Pengadilan
Negeri Meulaboh Nomor 12/pdt.G/2012/PN.MBO tanggal 8 Januari 2014 telah mengabulkan
gugatan penggugat sebahagian, yaitu tergugat PT. Kallista Alam dinyatakan telah
terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga PT. Kallista Alam dihukum
membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada penggugat melalui rekening Kas
Negara sebesar Rp114.303.419.000,00 (seratus empat belas miliar tiga ratus tiga
juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah).[5]
Tergugat PT. Kallista Alam juga dihukum untuk tidak melakukan suatu perbuatan
tertentu, yaitu agar tergugat tidak
menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar di
Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh.[6]
Demikian
pula, tergugat PT. Kallista Alam dihukum secara condemnatoir dalam hal kewajiban pemulihan lingkungan objek sengketa
terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya
sebesar Rp251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam
puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Tergugat juga dihukum
membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari atas keterlambatan dalam
melaksanakan putusan. Konsekuensinya sebagai pihak yang kalah, PT. Kallista
Alam dihukum membayar biaya perkara sejumlah
Rp10.946.000,00 (sepuluh juta sembilan ratus empat puluh enam ribu rupiah).[7]
Menarik minat
penulis untuk kegunaan akademis dan praktis, bahwa isu hukum Kasus Karhutla
Gambut Rawa Tripa dalam perkara gugatan perdata sengketa lingkungan hidup antara
Kementerian LHK-RI v. PT. Kallista
Alam tersebut perlu dikaji dalam analisis
hukum kasus (case law) tentang implementasi
Hak Gugat Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (disingkat UUPPLH 2009), dan tentang pertanggungjawaban
perdata korporasi dalam praktik peradilan perdata (case law) di Indonesia.
DESKRIPSI KASUS POSISI KAWASAN
HUTAN LAHAN GAMBUT RAWA TRIPA
Kawasan hutan
lahan gambut Rawa Tripa adalah seluas kurang lebih 1.605 hektar yang dikelola
PT. Kallista Alam, terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur,
Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh yang merupakan bagian dari Izin Usaha
Perkebunan Budidaya yang diberikan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011
tanggal 25 Agustus 2011.
Seluruh
perkebunan budidaya yang dikelola PT. Kallista Alam seluas 1.605 hektar tersebut
berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Suatu kawasan dalam status KEL itu
ditetapkan sebagai kawasan konservasi, artinya sebagai kawasan yang dilindungi
oleh undang-undang berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1998
tentang Kawasan Ekosistem Leuser, yang batas-batasnya ditentukan oleh Menteri
Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 190/Kpts-II/2001 tanggal 29 Juni
2001 tentang Pengesahan Batas Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh. Kemudian,
PT. Kallista Alam telah membuka lahan gambut sesuai Izin Usaha Gubernur Aceh untuk
usaha perkebunan budidaya kelapa sawit seluas 1.605 hektar, dengan cara membakar
berdasarkan data titik panas (hotspot)
yang bersumber dari satelit MODIS yang dirilis oleh National Aeronatics and Space Agency (NASA) untuk periode Februari
hingga Juni 2012.[8]
Perbuatan
Tergugat PT. Kallista Alam membuka lahan gambut Rawa Tripa untuk perkebunan
budidaya sebagai lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar tersebut
dalam perkara gugatan perdata lingkungan hidup antara Kementerian LHK-RI v. PT.
Kallista Alam, telah memenuhi kualifikasi perbuatan sebagai perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUPPLH 2009 dan Pasal 1365 KUH Perdata
sebagaimana dimaksud dalam Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) Nomor 12/Pdt.G/2012/PN-MBO tanggal 8 Januari
2014 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 651
K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015; dan jo.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April 2017.
Alasan dan pertimbangan sebagai Ratio
decidendi hakim dalam putusan perdata lingkungan hidup
antara Negara (KLHK-RI) v. PT
Kallista Alam sebagaimana alasan dan pertimbangan majelis hakim dalam Putusan
Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014 Nomor 12 /Pdt.G/2012/PN. MBO
telah mengabulkan gugatan penggugat
sebahagian, dan di tingkat
banding diperbaiki sekadar tentang
pertimbangan hukum dan susunan amarnya oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh
dengan Putusan Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15 Agustus 2014.
Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015
tanggal 28 Agustus 2015:
Majelis Hakim
Kasasi Mahkamah Agung sebagai judex juris
telah menjatuhkan putusan berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi sedemikian rupa, dapat
dieksplanasi sebagai berikut:
Terhadap Alasan Memori Kasasi PT. Kallista Alam
Menimbang,
bahwa terhadap alasan-alasan dalam Memori Kasasi Pemohon Kasasi (PT. Kallista
Alam) tanggal 6 Oktober 2014 tersebut, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa alasan permohonan kasasi tersebut
tidak dapat dibenarkan, karena setelah memeriksa secara saksama memori
kasasi tanggal 6 Oktober 2014 dan jawaban memori tanggal 30 Oktober 2014
dihubungkan dengan pertimbangan judex facti
dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memperbaiki Putusan
Pengadilan Negeri Meulaboh adalah tidak
salah menerapkan hukum dengan alasan dan pertimbangan, sebagai berikut:
Bahwa Pemohon
Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga yang
menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup,
terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat, setidaknya kelalaian atau kekurang
hati-hatian dalam menjalankan usaha, sehingga telah menyebabkan terjadi
kebakaran lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi;
Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut sertanya
pemerintah daerah mengajukan gugatan dalam perkara a quo tidak menyebabkan gugatan kurang pihak, sehingga pertimbangan
hukum Judex Facti yang sudah tepat
dan benar. Walaupun Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
menggunakan kata-kata "pemerintah dan pemerintah daerah" tidak berarti
kalau hanya pemerintah saja atau pemerintah daerah saja yang mengajukan gugatan
membuat gugatan kurang pihak Penggugat, karena mengajukan gugatan adalah soal wewenang
yang sangat bergantung pada pemilik wewenang itu untuk menggunakan wewenangnya
atau tidak. Hal ini bergantung pada tata kelola pemerintahan dan kesadaran
hukum dan lingkungan pemegang wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya. Lagi pula, Indonesia berbentuk negara
kesatuan yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menguasai dan
mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian
kekuasaan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah melalui kebijakan
desentralisasi atau otonomi. Jika pemerintah daerah sebagai penerima
desentralisasi atau otonomi tidak menggunakan wewenang yang diberikan oleh
pemerintah, maka pemerintah dengan atau tanpa pemerintah daerah berwenang
mengambil segala upaya hukum terhadap pihak yang telah menyebabkan kerusakan
atau pencemaran lingkungan hidup atau pemerosotan kualitas sumber daya alam.
Pemerintah memiliki tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 untuk memastikan bahwa perilaku setiap subjek hukum di wilayah Indonesia
sejalan atau konsisten dengan pembangunan berkelanjutan;
Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut digugatnya
Gubernur Aceh tidak menyebabkan kurang pihak Tergugat merupakan pertimbangan
yang tepat dan benar, karena Gubernur Aceh sebagai pejabat pemberi izin tidak
terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang disangkakan kepada Tergugat. Pemberian
izin mengandung pengertian bahwa tindakan si penerima izin adalah sah sepanjang
mematuhi perundang-undangan yang berlaku. Jika penerima izin telah melakukan
tindakan yang melawan hukum tidak ada hubungannya dengan pemberi izin;
Tentang luas areal
kebakaran lahan telah dipertimbangkan oleh Judex
Facti secara tepat dan benar dengan mendasarkan pemeriksaan setempat dan keterangan
ahli dan keterangan saksi. Oleh sebab itu, keberatan Pemohon Kasasi atas soal
luas areal kebakaran lahan merupakan Penilaian Hasil Pembuktian yang tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi. Dalil Pemohon Kasasi untuk
menentukan luas kebakaran lahan harus menggunakan pengukuran oleh Kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) tidak dapat diterima, karena permasalahan a quo bukan perselisihan soal hak atas
tanah yang memang memerlukan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional
(BPN);
Tentang keberatan atas
perhitungan ganti rugi lingkungan hidup dan biaya pemulihan lahan tidak dapat dibenarkan,
karena besaran ganti rugi sudah mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 13 Tahun 2011 yang telah dibuat oleh instansi pemerintah yang
berwenang dalam bidang perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan
lingkungan hidup dan dengan melibatkan para ahli lingkungan hidup. Menentukan
ganti rugi lingkungan hidup memang tidak sama dengan menentukan ganti rugi
material dalam perkara lainnya yang jumlah atau besaran kerugiannya dapat
diukur dengan harga pasar sebuah produk atau objek misalkan harga tanah dan
harga rumah maupun biaya pengobatan riel yang dikeluarkan oleh seorang dokter
atau sebuah rumah sakit. Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi ekologis yang
sangat kompleks yang banyak manfaatnya bagi manusia dan yang tidak kesemua
manfaat itu diketahui pula oleh manusia. Kompleksitas dan manfaat lingkungan
hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan
dijelaskan, antara lain, oleh ahli lingkungan hidup maupun oleh kearifan lokal.
Oleh sebab itu, menentukan nilai uang atau harga kerusakan sumber daya alam
dapat dibantu dengan keterangan ahli dan pengetahuan hakim yang diperoleh dari
pemeriksaan setempat. Sekali lingkungan hidup mengalami kerusakan atau
penurunan kualitas dan kuantitas, maka upaya pemulihan yang dilakukan oleh
manusia tidak dapat mengembalikan sepenuhnya pada lingkungan hidup keadaan
semula. Manusia tidak mampu menciptakan sumber daya alam, karena penciptaan itu
adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu pula, dalam menentukan
sebab akibat antara aktivitas Tergugat dengan terjadinya kebakaran lahan,
antara kebakaran lahan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul saat ini dan
akibat-akibatnya di masa datang memang harus mendasarkan pada doktrin in dubio pro natura yang mengandung
makna bahwa jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti
rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun
hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup harus lah
memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan
perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Penggunaan doktrin "in dubio pro natura" dalam
penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan dan administrasi bukan suatu pertimbangan
yang mengada-ada, karena ternyata sistem hukum Indonesia telah mengenal doktrin
ini yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian (precautionary),
keadilan lingkungan (environmental equity),
keanekaragaman hayati (biodiversity)
dan pencemar membayar (polluter pays
principle). Oleh sebab itu, keberatan Pemohon Kasasi tentang soal sebab
akibat antara kegiatan Pemohon Kasasi dan kerugian lingkungan yang timbul serta
ganti rugi lingkungan hidup yang harus ditanggung Pemohon Kasasi ini harus
ditolak;
Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi PT. KALLISTA ALAM, tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh
karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak dan Pemohon Kasasi ada di
pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini.[9]
Ratio
decidendi hakim dalam putusan perdata lingkungan hidup
antara Negara (KLHK-RI) v. PT
Kallista Alam sebagaimana alasan dan pertimbangan majelis hakim dalam Putusan
Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014 Nomor 12 /Pdt.G/2012/PN. MBO telah
mengabulkan gugatan penggugat sebahagian,
dan kemudian di tingkat banding diperbaiki sekadar tentang pertimbangan
hukum dan susunan amarnya oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Putusan
Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15
Agustus 2014.
Akhirnya, ratio decidendi putusan pengadilan yang
memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata lingkungan hidup tersebut
berpuncak pada kaidah hukum dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 651
K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 sebagai Judex
Juris, bahwa putusan judex facti dalam
hal penerapan hukumnya dibenarkan
Mahkamah Agung berdasarkan penilaian bahwa putusan judex facti sudah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang, maka putusan judex
facti tidak salah menerapkan hukum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
tersebut, maka putusan telah berbekuatan hukum tetap.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 651
K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 dalam perkara gugatan perdata lingkungan
hidup antara Kementerian LHK-RI v.
PT. Kallista Alam, penulis menemukan formulasi tujuh kaidah hukum, antara lain:
(1) Bahwa ketentuan Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009) yang mengatur Hak Gugat Pemerintah semakin diteguhkan dalam ratio decidendi Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015, bahwa
pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia yang bertangggungjawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian lingkungan hidup, yaitu korporasi PT. Kallista
Alam.
Penggunaan frasa
"pemerintah dan pemerintah daerah"
dalam rumusan Pasal 90 ayat (1) UUPPLH 2009 tidak berarti apabila hanya
pemerintah saja atau pemerintah daerah saja yang mengajukan gugatan
mengakibatkan gugatan kurang pihak penggugat.
(2) Bahwa Indonesia berbentuk negara kesatuan,
yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menguasai dan mengelola
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian kekuasaan
pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi
atau otonomi. Jika pemerintah daerah sebagai penerima desentralisasi atau
otonomi tidak menggunakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah, maka
pemerintah dengan atau tanpa pemerintah daerah berwenang mengambil segala upaya
hukum terhadap pihak yang telah menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan
hidup atau pemerosotan kualitas sumber daya alam.
(3) Bahwa Pemerintah memiliki tanggung jawab
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, untuk memastikan bahwa perilaku setiap subjek hukum
di wilayah Indonesia sejalan atau konsisten dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
(4) Bahwa penghitungan besaran ganti rugi
lingkungan hidup mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13
Tahun 2011 tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup.
(5) Bahwa dalam menentukan sebab akibat antara
aktivitas Tergugat dengan terjadinya kebakaran lahan, antara kebakaran lahan
dan kerugian lingkungan hidup yang timbul saat ini dan akibat-akibatnya di masa
datang memang harus mendasarkan pada doktrin in dubio pro natura yang mengandung makna bahwa jika dihadapkan
pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, maka pengambil
keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam
perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup haruslah memberikan
pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan
pemulihan lingkungan hidup.
(6) Bahwa dalam menentukan nilai uang atau harga
kerusakan sumber daya alam dapat dibantu dengan keterangan ahli dan pengetahuan
hakim yang diperoleh dari pemeriksaan setempat.
(7) Bahwa penggunaan doktrin in dubio pro natura dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup
keperdataan dan administrasi (tata usaha negara) bukan suatu pertimbangan yang
mengada-ada, karena ternyata sistem hukum Indonesia telah mengenal doktrin ini
yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu
kehati-hatian (precautionary),
keadilan lingkungan (environmental equity),
keanekaragaman hayati (biodiversity)
dan pencemar membayar (polluter pays
principle).
[1] Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya dapat disingkat UUPPLH 2009), menentukan, “Instansi
pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.”
[2] Deskripsi Kasus Karhutla
Gambut Rawa Tripa tersebut disarikan sebagai Kasus Posisi dalam Albertus Usada, 2020. “Analisis Hukum
Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Rawa Tripa”, Pendalaman Materi Hukum Lingkungan, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, 27 Mei, berdasarkan bahan hukum primer, putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), yaitu Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor
12/Pdt.G/2012/PN-MBO tanggal 8 Januari 2014 jo.
Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA tanggal 15
Agustus 2014 jo. Putusan Mahkamah
Agung Nomor 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015; dan jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2017 tanggal 18 April
2017.
[3] Penulis, Albertus Usada:
untuk memudahkan penyebutan dan pembahasan secara akademik dan praktis di dalam
artikel ini, perkara perdata gugatan lingkungan hidup Kasus Karhutla Gambut
Rawa Tripa, disingkat “Kementerian
LHK-RI v. PT. Kallista Alam”.
[4] Direktori Putusan Mahkamah
Agung pada link elektronik https://putusan3.mahkamahagung.go.id,
diakses pada 5 Februari 2020.
[5] Albertus Usada, 2020.
“Analisis Hukum Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Rawa Tripa”, Pendalaman Materi Hukum Lingkungan,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 Mei, h. 3-8.
[6] Ibid, h. 4.
[7] Ibid.
[8] Bandingkan Hasil Publikasi Kajian Yayasan KEHATI, 2016. “Rawa
Tarung, Pertaruhan di Rawa Gambut Tripa”, Hasil
Kajian Publikasi Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia (KEHATI) Indonesian
Biodiversity Conservation Trust Fund bekerjasama dengan Tropical Forest Conservation Action Sumatera
(TFCA-Sumatera) dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), pada laman elektronik di
link www.kehati.or.id.
[9] Analisis penulis, alasan
dan pertimbangan hukum tersebut merupakan rangkaian ratio decidendi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015 tanggal 28
Agustus 2015 sebagai Judex Juris yang
berwenang menilai Putusan Judex Facti,
yaitu Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memperbaiki putusan dalam hal
pertimbangan hukum dan susunan amar Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Mahkamah Agung menilai bahwa putusan judex
facti sudah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka putusan judex
facti tidak salah menerapkan hukum. Akhirnya (summa summarum) Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi PT.
Kallista Alam.
Menurut hemat penulis, bahwa
Mahkamah Agung telah cukup pertimbangan dan alasan hukum (voldoende gemotieverd) dalam hal implementasi beberapa teori hukum,
doktrin, asas atau prinsip hukum lingkungan hidup, yaitu (1) Teori Perbuatan
Melawan Hukum, Pasal 1365 KUHPerdata; (2) Doktrin Strict Liability; (3) Prinsip Kehati-hatian (precautionary principle) yang mengadopsi Prinsip ke-15 Konvensi Rio
de Janeiro 1992, dikenal sebagai asas in
dubio pro natura terutama penerapan untuk perkara perdata dan sengketa tata
usaha negara di bidang lingkungan hidup, yang mengutamakan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development);
(4) Prinsip Pencemar Membayar (polluter
pays principle); (5) Prinsip Keadilan (equitable
principles), keadilan lingkungan hidup (environmental
equity); (6) Prinsip Keanekaragaman hayati (biodiversity).