Albert Usada, 2019: Sistem Kamar di Mahkamah Agung mulai diberlakukan sejak tahun 2011 berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung, dan implementasinya berlaku efektif sejak tahun 2012. Apakah urgensi penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung? Indonesia dengan tradisi civil law tidak menganut asas stare decisis seperti negara-negara bertradisi common law, lalu bagaimana daya keberlakuan Sistem Kamar di Mahkamah Agung untuk menjaga kesatuan hukum (legal uniformity) dan konsistensi putusan?
Jawaban atas dua pertanyaan tersebut, kita simak tulisan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI berikut ini:
Jawaban atas dua pertanyaan tersebut, kita simak tulisan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI berikut ini:
1.
Pengantar

Pada masa lalu sebelum sistem kamar
berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili
perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung - lazimnya terdiri atas
seorang ketua dan dua orang anggota - yang kesemuanya berasal dari lingkungan
peradilan agama dapat mengadili perkara perdata.
Dengan sistem kamar, tidak lagi
diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan
peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari
lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua
majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung
lain dalam kamar perdata.
Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih
dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah
perkara perdata sangat besar, sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata
masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu,
sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung
kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis
perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat
ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat
kedekatan jenis perkaranya.
Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan
kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan
karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung
setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah
tunggakan perkara dapat ditekan.
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar
didasarkan pada keahlian mereka. Keahlian antara lain dapat dilihat dari bidang
studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program S2 atau S3 atau
pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti.
Penempatan hakim agung karir yang berasal
dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada
dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung
dengan melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang
tepat dan sesuai bagi seorang hakim agung.
Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang
sebelum sistem kamar diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda. Meskipun
kebijakan pemberlakukan sistem kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun
2011, implementasinya dilakukan secara bertahap.
2.
Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada
Mahkamah Agung oleh para pencari keadilan pada umumnya dan para pemerhati
peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis hakim agung dalam
perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa
ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan
tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan
arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan
hukum.
Namun, fungsi ini tidak dapat sepenuhnya
dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung dengan pelbagai wajah aliran
putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari oleh pimpinan
Mahkamah Agung, sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu agenda
dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2010-2014.
Terjadinya perbedaan putusan untuk
perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa dapat
terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan kepada Mahkamah
Agung, sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis hakim
agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan
dua orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri.
Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang
tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi, sehingga keteraturan dan
konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara
satu majelis dengan majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili
perkara-perkara yang sejenis ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum
pada dasarnya mengandalkan interpretasi terhadap norma hukum dan fakta yang
terungkap dalam persidangan.
Selain itu, rumusan ketentuan atau norma
undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi interpretasi atau
adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah mendorong
lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan
konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari
keadilan.
Meskipun perbedaan putusan hakim agung
dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi, ketidakjelasan rumusan norma
atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, kenyataan ini
tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum, sebab hukum yang mengatur
masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu
mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi
tugas hakim untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas
sebuah perkara.
Hukum fisika selalu memperlihatkan adanya
keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan pasti mendidih dan
menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku. Di mana
pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang
mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat
keteraturan, keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan
bahwa setiap pembeli benda tidak bergerak yang beritikad baik wajib memperoleh
perlindungan hukum, walaupun ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan
pihak yang berhak atas benda yang diperjualbelikan, maka semua majelis hakim
dalam berbagai tingkat peradilan wajib menerapkan asas ini dalam mengadili
perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya dianggap sebagai pembeli
beritikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk mengoreksi atau
memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan telah
melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beritikad baik. Sebaliknya,
jika dalam sebuah perkara pembeli beritikad baik dilindungi tetapi dalam
perkara lainnya pembeli beritikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum,
maka dalam situasi seperti ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum,
atau ketidakteraturan hukum, sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan hukum.
Di dalam tradisi “common
law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum dibangun
dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike”
(perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula).
Berdasarkan prinsip stare decisis, hakim dalam
mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent, yaitu putusan hakim yang
lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa pada masa lalu.
Meskipun sistem hukum Indonesia tidak
menganut doktrin stare decisis tetapi terjadinya
perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat
dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian
hukum dan keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal
konsep yang disebut “legal uniformity”
(kesatuan hukum).
Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan
penganut sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan
hukum agar hukum Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan
putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum
dapat mewujud.
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada
Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat
pleno kamar. Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung
untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada
kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini, para
hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau
pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum.
Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi
para hakim agung menyatukan pendapat. Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan
pendapat bersumber dari adanya pandangan bahwa setiap majelis atau bahkan
setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara pada dasarnya adalah
mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri memang mengandung
sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas hakim itu
digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat
hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum
dalam sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai
hakim bebas dari pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara.
Sebaliknya, perdebatan dalam kamar adalah
upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh
multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam
undang-undang. Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli
beritikad baik harus dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya
mengakui asas tersebut karena sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen
di fakultas hukum sejak dulu, tetapi persoalan yang muncul adalah pada
detailnya, yaitu apakah kriteria pembeli beritikad baik.
Oleh karena itu, dalam sebuah majelis
mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal konsep umum, tetapi berbeda
pendapat dalam hal elaborasi atau detailnya. Rapat pleno kamar diharapkan dapat
menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak saja dalam
hal konsep dasar tetapi juga detail atau perwujudan atau eloborasi dari konsep
dasar itu.
Namun demikian, kekuatan mengikat putusan
kamar terhadap setiap hakim agung adalah bersifat moral dan tidak ada
konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-dapatnya
ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan
pendapat hakim agung bersumber pada putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat
diakses dengan mudah melalui website Mahkamah Agung karena tidak semua
putusan-putusan terdahulu yang mengandung pandangan hukum berbeda berbeda atas
permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke dalam website atau tersedia dalam
bentuk kopi lunak (softcopy). Untuk mempersatukan pendapat di antara para hakim agung yang
sekarang, tentu diperlukan untuk membaca dan memahami “reason”
dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga
dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau
pandangan atas pandangan yang berbeda diantara para pendahulu. Oleh sebab itu,
keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis
teknologi informasi.
Selain itu, teknologi informasi juga
diperlukan untuk mengakses perkembangan terbaru peraturan perundang-undangan
dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum para sarjana yang mungkin
relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan. Terlepas dari adanya
tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim agung, sejak
pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan kesepakatan
tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah
dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan
dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami
rumusan kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah
kemajuan dalam kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
4.
Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia
menghasilkan kesatuan hukum adalah juga bersumber pada sistem peradilan
Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan peradilan. Oleh karena itu,
tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik singgung
kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan
umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik
singgung antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa
kepemilikan dan keputusan tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk
mengatasi permsalahan titik singgung kewenangan antar dua lingkungan peradilan
ini, rapat pleno kamar diadakan.
5.
Penutup
Terjadinya perbedaan putusan-putusan
majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang mengandung permasalahan hukum
sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi terwujudnya keadilan dan kepastian
hukum. Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga
sistem peradilan Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum
diperlukan karena para pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh
penyelesaian yang serupa untuk permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat
perlakuan sama.
Agar sistem kamar dapat memenuhi fungsinya,
diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis teknologi guna
mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan
perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja
di bawah Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan
Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu
meneliti dan mengkaji pula secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan
hukum telah dapat diwujudkan sejak pemberlakuan sistem kamar.
~
Source: https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm
~
Source: https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm
0 comments: